Beberapa bulan yang lalu, ayah saya meminta saya untuk menyunting ucapan terima kasih yang Beliau tulis untuk disertasinya. Lima halaman ucapan terima kasih itu saya baca perlahan-lahan, jika ada ejaan dan tanda baca yang salah atau kurang, saya pun membetulkan juga menambahkannya.
Kemudian, tibalah saya di halaman kelima. Dan, terpakulah saya pada beberapa baris kalimat yang Beliau tulis. Sebenarnya, bukan hanya terpaku, namun ada rasa bangga dan haru yang secara bersama-sama menjalari hati saya. Beberapa baris kalimat itu, berbunyi seperti ini, "Juga Alm. Agoes Soejono, ayahanda penulis, yang meninggalkan penulis sejak berumur 8 tahun, terima kasih Bapak. Bapak yang mengajari untuk lebih memilih buku ketimbang mainan mobil-mobilan. Dan "dari sana" Bapak dapat melihat hasilnya hari ini. Terima Kasih."
Ingin menangis. Itulah yang saya rasakan setelah selesai membaca penggalan ucapan terima kasih itu. Lalu, saya pun teringat keseharian ayah saya. Selama ini saya berpikir Beliau itu galak dan tidak terbantahkan. Namun, ternyata di balik segala kegalakan dan ketegasan Beliau, ada keharuan yang diam-diam saya rasakan dalam setiap keputusan yang Beliau ambil untuk keluarga kami. Saya pun sekarang menyadari, mengapa Beliau marah ketika prestasi anak-anaknya di sekolah tidak memuaskan. Dan, mengapa Beliau begitu suka membelikan buku untuk saya dan adik-adik saya, walaupun beberapa di antara kami tidak suka membaca. Itu pasti karena Beliau juga ingin agar anak-anaknya merasakan puncak tertinggi pendidikan dan memiliki pengetahuan yang luas.
Ya. Saya bangga memiliki ayah seperti Beliau. Dan saya yakin, eyang saya juga bangga memiliki anak seperti ayah saya. Semoga suatu hari saya bisa membuat Beliau bangga.
No comments:
Post a Comment