Saturday, March 8, 2014

Analisis Kasus Bunuh Diri


Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat tugas dari dosen saya di mata kuliah teori sosiologi untuk menganalisis sebuah kasus bunuh diri sehubungan dengan materi yang tengah dipelajari, yaitu teori bunuh diri yang diajukan oleh Emile Durkheim. Berikut adalah kasus yang saya ambil dari http://www.merdeka.com/peristiwa/lama-tak-punya-keturunan-warga-etnis-tionghoa-tenggak-racun.html dan analisis yang telah saya buat.

KASUS:
 Lama tak punya keturunan, warga etnis Tionghoa tenggak racun
Reporter : Angga Yudha Pratomo | Senin, 3 Maret 2014 03:30
Merdeka.com - Ana (45), wanita keturunan Tionghoa, ditemukan tewas di rumah kontrakannya Jalan Darma, Gang I Kelurahan Lawangan Daya, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Madura kemarin siang. Dia nekat bunuh diri lantaran belum memiliki keturunan.

Pemilik rumah kontrakan, Alim menceritakan, Ana selama ini tinggal berdua bersama suaminya bernama Kholik. Pasangan itu memang tidak mempunyai keturunan.

Dia menambahkan, Ana juga sering ditinggal sendiri oleh suaminya yang bekerja sebagai sopir. Selain itu, secara ekonomi kehidupan keluarga itu sangat sulit.

Dalam dua hari terakhir ini, kata dia, dirinya memang tidak melihat Ana keluar rumah. Selain itu, dirinya juga tidak mendengar adanya aktivitas sama sekali di dalam rumahnya.

Bahkan, lanjut Alim, Kholik sampai meneleponnya dan memintanya agar melihat kondisi istrinya. Sebab Kholik menyatakan korban tidak bisa dihubungi.

Mendengar hal itu, Alim mendatangi rumah korban dan melihat kondisi Ana sudah tidak bernyawa. Lalu, dirinya pun melaporkan kejadian itu ke polisi.

"Saat itu saya mencoba mengetok pintu tapi tidak dibuka, setelah saya lihat dari lubang kecil, ternyata yang terlihat kakinya saja, saya langsung dobrak dan ternyata orangnya sudah tidak bernyawa," terang Alim, di Madura, seperti dikutip dari Antara, Minggu (2/3).

Sementara itu, jajaran Polres Pamekasan, Madura, Jawa Timur kini masih melakukan penyelidikan. Dugaan sementara karena bunuh diri.

"Sampai saat ini kami belum bisa memastikan apa yang menjadi motif bunuh diri warga etnis Tionghoa itu dan kami masih melakukan pemeriksaan kepada sejumlah pihak dan kerabat dekat korban," kata Kasubag Humas Polres Pamekasan AKP Mariyatun.

Mariyatun menambahkan, dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) pihaknya mengungkapkan diduga korban bunuh diri dengan meminum racun yang menyebabkan mulut korban keluar busa.

"Tapi itu masih dugaan, karena penyelidikan hingga kini belum tuntas dilakukan," ujarnya.
[has]

ANALISIS:
Bunuh diri adalah sebuah tindakan yang telah banyak dilakukan oleh individu dengan berbagai dugaan penyebab. Hal ini terlihat dari banyaknya pemberitaan mengenai tindakan ini, baik di televisi, media massa, maupun internet. Dalam menganalisis salah satu kasus bunuh diri, penulis mengambil salah satu berita mengenai tindakan bunuh diri yang terdapat di internet. Di dalam berita tersebut disebutkan bahwa dugaan penyebab dilakukannya tindakan bunuh diri adalah karena pelaku yang bernama Ana sudah berkeluarga, namun belum juga memiliki keturunan. Selain itu, disebutkan pula bahwa Ana dalam kesehariannya sering ditinggal oleh suaminya yang bermata pencaharian sebagai supir.

Berdasarkan beberapa keterangan dalam berita tersebut, dugaan penyebab bunuh diri tersebut cukup sesuai dengan salah satu dari empat tipe bunuh diri yang diajukan oleh Emile Durkheim. Tipe bunuh diri yang paling sesuai dengan kasus tersebut adalah bunuh diri egositik. Di dalam buku Teori Sosiologi karya George Ritzer, disebutkan bahwa bunuh diri egoistik disebabkan oleh rendahnya integrasi dalam suatu masyarakat yang menyebabkan individu di dalamnya merasa bukan bagian dari masyarakat dan begitu pula sebaliknya. Menurut Durkheim, moralitas, nilai-nilai, dan perasaan merupakan hal-hal yang bisa didapat oleh individu dari masyarakat dan dapat membuat individu menghadapi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya. Maka, ketika hal-hal tersebut tidak didapat individu dari masyarakatnya, ia dapat merasa putus asa dan terdorong untuk melakukan tindakan bunuh diri.

Dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Ana, sangat mungkin salah satu faktor penyebabnya adalah perasaan putus asa yang dirasakannya karena belum memiliki keturunan dan kesepian hatinya akibat kepergian sang suami untuk bekerja, yang mana masyarakat di sekitarnya mungkin tidak mampu membantunya dalam menghadapi kesedihannya tersebut. Masih di dalam buku karya Ritzer, disebutkan bahwa masyarakat dapat memberikan individu suatu perasaan mengenai arti kehidupan yang lebih luas untuk mencegah dilakukannya tindakan bunuh diri. Hal ini mungkin tidak didapat Ana dari masyarakatnya, sehingga ia merasa beban hidupnya terlalu berat dan lebih baik baginya untuk mengakhiri hidupnya saja.

Sumber: Teori Sosiologi Edisi Kedelapan 2012 oleh George Ritzer 

Wednesday, January 8, 2014

Mengejar Terbitnya Sang Surya ke Punthuk Setumbu

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 29 Desember 2013, saya mendapat sebuah pengalaman baru yang sangat menakjubkan dan membuat saya selalu terkenang-kenang, bahkan hingga hari ini. Pengalaman baru ini adalah melihat terbitnya matahari di dekat lokasi Candi Borobudur. Ide untuk merasakan pengalaman baru ini datang dari ayah saya. Ketika kami sekeluarga sedang berada di Yogyakarta, Beliau melihat iklan dari sebuah biro perjalanan yang menawarkan pengalaman untuk melihat terbitnya matahari di dekat lokasi Candi Borobudur. Kemudian, ayah saya mengajak kami untuk pergi ke sana. Untuk dapat merasakan pengalaman ini dengan biaya yang terjangkau, kami pergi dengan menggunakan kendaraan pribadi, bukan mendaftarkan diri pada biro perjalanan yang iklannya ayah saya lihat sebelumnya.

Di hari Minggu pukul 03.00 WIB, mobil kami melaju ke arah Magelang, yang merupakan lokasi dari Candi Borobudur. Ketika kami sudah berada di daerah sekitar Candi Borobudur, seorang tukang ojek menawarkan diri untuk mengantar kami ke lokasi untuk melihat terbitnya matahari. Ayah saya pun setuju dengan tawaran itu, walaupun harus membayar jasa tukang ojeknya dengan cukup mahal. Akhirnya, tukang ojek tersebut memimpin arah yang harus kami lalui dengan mengendarai sepeda motornya, sementara ayah saya menyetir mobil dengan pelan-pelan di belakangnya. Kami diantar hingga akhirnya sampai di suatu daerah yang agak menanjak. Dari situ, kami masih harus mendaki cukup jauh untuk benar-benar bisa melihat peristiwa yang menakjubkan tersebut. Ternyata, kami tidak benar-benar melihat terbitnya matahari dari Candi Borobudur, tetapi dari suatu bukit di dekat Candi Borobudur yang bernama Punthuk Setumbu. Untuk dapat naik ke Punthuk Setumbu dan melihat peristiwa terbitnya matahari di sana, kami harus membayar dengan biaya yang menurut saya agak mahal, tidak gratis seperti yang sempat saya pikir sebelumnya.

Pada awalnya, saya menduga hanya akan ada sedikit orang di atas bukit yang juga ingin menyaksikan terbitnya sang surya, hal ini dikarenakan lokasi bukit yang terbilang cukup terpencil sehingga mungkin hanya akan ada sedikit orang yang mengetahui keberadaannya. Namun, ternyata dugaan saya salah. Nyatanya, sudah banyak orang mengetahui keberadaan objek wisata ini, sehingga terbilang ramai suasana di bukit yang tidak terlalu luas itu. Bahkan, banyak fotografer dengan kamera berlensa panjang yang berjajar untuk mengabadikan peristiwa alam yang indah tersebut. Padahal, dari hasil curi dengar obrolan beberapa orang di dekat saya, ternyata peristiwa alam tersebut baru menjadi objek wisata sekitar enam bulan yang lalu, atas prakarsa seorang fotografer yang saya lupa namanya.

Ketika sampai di atas bukit, matahari belum terbit. Suasana masih gelap, namun terlihat titik-titik kecil cahaya lampu dari seberang bukit. Benar-benar sebuah momen yang membuat saya menahan napas saking takjubnya. Sedikit demi sedikit, sang fajar pun mulai menampakkan dirinya. Di kejauhan, terlihat samar-samar siluet Candi Borobudur yang diselimuti kabut. Saya seperti melihat sebuah negeri indah di depan mata, namun begitu tak terjamah karena terlalu menakjubkannya, hingga hanya seperti ilusi. Saya sibuk memotret berkali-kali kesempatan langka yang tidak dapat saya lihat setiap hari itu. Saking sibuknya saya memotret, saya bahkan tidak benar-benar menyadari perubahan bentuk sang fajar dari kecil samar hingga bulat sempurna. Saya baru menyadari hal itu sepenuhnya ketika melihat foto-foto di kamera sesudah turun dari bukit.

Saya tidak tahu kapan lagi saya akan kembali ke Punthuk Setumbu, namun jika memang ini pengalaman pertama dan terakhir saya, saya benar-benar merasa bersyukur bisa mendapat kesempatan berharga ini, karena dari menyaksikan peristiwa menakjubkan tersebut saya bisa merasakan kebesaran Tuhan yang begitu agung. Di waktu selanjutnya, jika saya memang memiliki kesempatan, saya akan pergi ke tempat-tempat lainnya yang juga memiliki momen terbit atau terbenamnya matahari yang juga menakjubkan seperti di Punthuk Setumbu. Semoga harapan ini bisa terwujud secepatnya.